(part 1)

Senin

Jarum jam menunjukkan waktu dua puluh menit sebelum pukul setengah tujuh ketika terdengar ucapan salam dari bibir mungil milik gadis berseragam putih-putih. Tangan kanannya masih menggenggam tangan sang ibu. Sementara tangan kirinya menggenggam erat topi putih-merah. Tidak lama kemudian, tangannya terlepas dan digantikan tangan lain yang lebih terawat. Gadis berjilbab itu mencium tangan ibunya perlahan, kemudian melepaskannya dan beranjak menyusul adiknya yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

Sang ibu hanya tersenyum tipis melihat kelakuan dua putrinya yang selalu rutin mencium tangannya ketika akan berangkat ke sekolah. Tinggal dengan dua putri yang berbeda watak dan karakter sama saja seperti hidup di medan perang, sewaktu-waktu bisa dengan tak sengaja mendengar perang dahsyat antara mereka. Meskipun begitu, keduanya sama-sama saling menyayangi dan sama-sama tak pernah mengakuinya.

Laras, anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SMA kelas dua sedang sibuk-sibuknya mengikuti berbagai aktifitas. Kabar terakhir, dia terpilih menjadi salah satu kandidat ketua OSIS. Bahkan, dia juga turut aktif dalam kegiatan-kegiatan eksternal lain. Namun diantara kesibukannya, Laras tetap mengutamakan pendidikan. Nilai-nilainya selama ini selalu terjaga, meskipun dia bukanlah satu-satunya siswa yang pintar. Sebab sejak duduk dikelas dua, semakin bermunculan saingan-saingan baru baginya. Sementara, adik Laras, Rasti, yang delapan tahun jauh lebih muda, cenderung berbanding terbalik dengan Laras yang begitu kalem dan anggun. Rasti lebih usil dan menyampingkan pelajaran. Tetapi tetap saja, kedua putrinya tersebut mampu membuat kepalanya mendadak berasap.

“Ma, aku berangkat ya. Assalamu’alaikum”

 

♥as


Selama perjalanan, Laras selalu melirik kearah jam tangan Mongol biru miliknya. Jarum detik terus berputar, begitupun jarum menit. Wajahnya tampak tenang, namun sejujurnya hatinya sangatlah gusar. Sejak diberi kabar bahwa ia terpilih menjadi salah satu kandidat ketua OSIS disekolahnya, ia selalu teringat kalimat-kalimat nasehat kakak kelasnya. Termasuk nasihat jangan pernah terlambat. Guru-guru sudah sangat banyak yang mengenalnya. Namun kali ini, ia berangkat sudah terlampau siang untuk ukuran jarak rumahnya. Dalam hati ia berharap semoga tidak terlambat.


♥as


“Alhamdulillah.” Gumamnya dalam hati. Laras sangat bersyukur tidak terlambat hari ini.

Dengan langkah pasti, Laras menaiki tiap-tiap anak tangga. Setiap orang yang dijumpai diberikan senyuman manis khas-nya. Laras terkenal dikalangan guru-guru sebagai pribadi yang santun. Jilbab yang dikenakan seolah semakin memerkuat aura keindahannya.

Ketika sampai dikelas, Laras segera meletakkan tasnya pada bangku di barisan pojok paling depan. Membuka tasnya mengambil topi, kemudian setengah berlari mengejar teman-temannya yang sudah bergegas turun untuk upacara.

 

♥as

 

 

“Eh, denger-denger kita dapet guru PPL dari UNJ ya?” tanya Icha memulai percakapan semut ditengah lapangan ketika upacara berlangsung.

“Emang ya? Kata siapa lo cha?” Laras justru balik bertanya.

“Denger dari kelas lain sih gitu. Seminggu kemarin banyak guru PPL kan disini?”

“Semoga aja kita dapet guru PPL geografi ya. Haha.” ujar Putri tiba-tiba.

“Amin banget.” Laras menambahkan.

“Kalo gue sih berdo’a supaya kita dapet guru PPL yang ganteng-gantengJ.”

“Ah elo Cha, aneh-aneh aja deh. Yang penting tuh kita bisa nyambung kalo belajar. Ya nggak Put?”

“Iya Ras!”

Icha menghela napas menghadapi kedua temannya yang ‘alim’ itu. “Iseng sedikit ngga apa-apa kali.”

“Iya ngga apa-apalah kalo buat lo. Tapi buat gue ngga.”

“Siapa juga yang ngajakin lo Put.” sifat iseng Icha mulai keluar.

“Kalo lo ikutan si Rama mau dikemanain? Taro kantong gue nih.” Laras ikut meledek.

“Hahaha…” serempak mereka tertawa bertiga. Namun buru-buru menutup mulut masing-masing. Mereka tersadar bahwa mereka masih mengikuti upacara.

‘The leader ceremony leave the field’

Terdengar suara MC Upacara membubarkan barisan. Ketiganya masih larut dalam tawa ketika beranjak meninggalkan lapangan dan menuju kelas mereka di lantai tiga. Sebelum menaiki tangga, Putri mengajak Laras yang berjilbab dan Icha yang dikuncir pita ke kantin.

“Anterin ke kantin dulu yuk!”

“Mau ngapain Put?” tanya Laras polos.

“Biasa, beli minum.” jawab Icha meskipun pertanyaan itu bukan ditunjukkan untuknya.

“Tau aja Cha.”

“Yak an emang biasanya begitu.” Tambah Icha lagi.

“Kok gue engga tau ya?” tanya Laras.

“Biasanya kan lo puasa kalo hari senin Ras, jadi ngga pernah diajak.”

Laras diam sejenak. Ia baru sadar kalau memang itu kenyataannya. Laras sudah terbiasa untuk puasa Senin-Kamis sejak masih duduk di bangku SD, bahkan sampai sekarang ia selalu rutin mengerjakannya. Meskipun tidak berasal dari keluarga yang berlatar-belakang Islam yang sangat kental, Laras dan keluargannya sudah terbiasa untuk turut merasakan penderitaan banyak orang diluar sana. “Oh gitu ya, tapi sekarang gue ikut kalian nih. Ngga apa-apa kan?”

“Ya ngga apa-apa lah selama belom ada undang-undang yang ngatur.” jawab Icha diselingi canda.

“Mungkin aja dengan lo ikut bisa ketemu guru PPL yang … “

Belum sempat Putri menyelesaikan kalimatnya, seorang laki-laki berusia sekitar 20 tahun, bertubuh tinggi, tegap, rapi dengan kemeja polos berwarna hijau tua lengan pendek melewati mereka, berjalan dengan langkah pasti menuju ruang Audio Visual yang letaknya di sebelah kiri jalan menuju kantin. Seketika itu pula pandangan Laras seolah telah menemukan persinggahan yang baru.

‘Ah, mungkin cuma perasaan sementara yang numpang lewat’ gumamnya dalam hati. Ia berusaha menyembunyikan ekspresi perasaannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Laras sangat penasaran.

“ganteeeng!” tambah Icha tiba-tiba. Hampir membuat laki-laki barusan menengok kearah mereka. Namun untunglah itu tidak terjadi. Mungkin Icha akan menanggung malu selama enam bulan kedepan kalau saja laki-laki barusan menengok dan menyangka Icha memanggilnya.

“Ish, untung dia ngga nengok.”

Laras masih terdiam.

“Hehe. Reflex nih ngelanjutin omongan lo Put,” kata Icha, “tapi ngomong-ngomong dia itu siapa ya?”

“Guru PPL mungkin” jawab Putri singkat.

“Yee, itu sih gue tau Put. Tapi lo tau ngga dia ngajar apa?”

“Enggaklah. Gue kan belum kenalan.”

“Laras, lo kan biasanya tau segala sesuatu di sekolah ini. Lo tau ngga yang barusan lewat depan kita nggajar apa?”

Laras tersentak oleh pertanyaan Icha yang tiba-tiba. Namun untung saja ia masih menyimak sedikit sehingga ia bisa langsung menjawabnya tanpa perlu minta pengulangan. “Ngga gitu juga kali Cha, gue mana tau soal itu. Gue aja baru denger dari lo kalo ada guru PPL.”

“Nah seminggu kemaren ngapain aja lo?” Tanya Icha heran. Laras yang biasanya tau segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah tercinta mereka, SMA 38, ternyata belum tau akan hal yang satu ini. Meskipun Laras tidak tergolong famous, namun setidaknya pengetahuan Laras akan sekolah mereka cukup banyak, terkait posisinya disekolah sebagai pengurus OSIS yang cerdas.

Kini Putri yang menambahkan, “Baca buku mulu sih.”

Laras tersenyum simpul. Memang ia belum mendapatkan teman seperjuangan yang cocok di kelasnya yang baru, XI IPS 3, maka dari itu ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca. “Ih engga juga. Cuma iseng aja sih.”

“Ya sudahlah, paling dia ngajar kelas sepuluh. Kalau untung ya kelas kita yang diajarin.” Putri menengahkan.

“Iyadeh. Eh naik ke atas sekarang yuk, sebelum Bu Wati naik nih.” ajak Icha.

“Ayo!” Laras bersemangat kembali.

 

♥as


“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” serentak murid XI IPS 3 menyerukan salam kepada wali kelas sekaligus guru sejarah mereka, Bu Setiyawati.

“Pagi anak-anak. Mulai hari ini kita kedatangan guru baru yang akan menggantikan Ibu mengajar selama satu semester kedepan. Sebelum itu, Ibu akan melakukan pembinaan terlebih dahulu. Setelah bel maka materi kalian akan disampaikan oleh guru pengganti.”

Deg. Laras tiba-tiba teringan sesosok laki-laki yang ditemuinya di depan ruang Audio Visual tadi. Namun langsung menepisnya. Ia berusaha fokus menyimak pengarahan dari Bu Wati.

Bel.

Bu Wati keluar kelas. Sesaat kemudian terdengar seruan salam dari seorang laki-laki muda yang menenteng netbook dan LCD dari balik pintu. Seisi kelas serentak menjawab salam. Laki-laki itu masuk, meletakkan netbook dan LCD pada meja paling depan, kemudian memerkenalkan diri.

“Pagi semua. Perkenalkan, saya yang akan menggantikan Bu Wati untuk mengajar di kelas ini. Nama saya Arya, lengkapnya Arya Samudra. Saya berharap kita bisa menjalin kerja sama yang baik selama saya mengajar di kelas ini.”

‘Oh namanya Arya’ gumam Laras dalam hati. Baginya saat itu, mengetahui namanya saja sudah lebih dari cukup. Kenyataannya lain, Laras tampak antusias menyimak penjelasan pak Arya. Laras menemukan banyak hal sepele yang tiba-tiba menjadi lebih dari luar biasa.

“Lus, lo tau nggak ciri khas 2 guru sejarah kita?” tanya Laras pada Lussi, teman sebangkunya.

“Enggak, emang kenapa?” tanyanya balik.

“Kalo Bu Wati sering ngucapin kata ‘kaitannya’, kalau pak Arya sering ngucapin kata ‘seperti itu’. Bener nggak?”

“Ciie Laras merhatiin aja. Kita kan baru diajarin sekali, udah tau aja sih lo.”

“Ya kan dari tadi gue merhatiin penjelasannya Pak Arya. Ngga kayak lo yang sibuk sms-an.”

“Perhatiin penjelasannya atau Pak Arya-nya?” Lussi iseng.

Laras bingung. “Ya penjelasannya lah Lus,” ia mengatakan alibi yang tepat.

“Pak Arya yang diperhatiin juga ngga apa-apa kok.”

“Ih apaah sih Lus. Udah ah, mending gue nerusin baca.”

Lussi senyum-senyum. Entah tersenyum meledek Laras atau tersenyum membaca sms yang baru diterimanya.

 

♥as